cerita motivasi, cerita
pembangkit semangat, cerita penggugah jiwa.
Malam
kawan ,heh kali ini saya akan ngeposkan satu cerita yang lumayan lah buat kita
mewek, ni pertama kali saya dapat melalui facebook dan lumayan memeras air mata,
hahah
soalnya
keren banget and terharu lah bacanya,,heheh
oke
flen semua ,siapin tisu ya,,,atau kalo gak mau boros,siapin aja tu handuk yang
gede,,,bakalin nangis dah,,,,:P
ni
bukan saya ya,catat itu!!!:D
kita
mulai aja langsung,,,,
Aku
dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari,
orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke
langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu
ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku
kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah
segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa
yang mencuri uang itu?"
Beliau
bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa
pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia
mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.Tiba-tiba, adikku mencengkeram
tangannya dan berkata,
"Ayah,
aku yang melakukannya!"
Tongkat
panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya
sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi,
"Kamu
sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu
lakukan di masa mendatang? ...Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak
tahu malu!"
Malam
itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka,
tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan
kecilnya dan berkata,
"Kak,
jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku
masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika
adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di
pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya bercerita,
"Kedua
anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu
mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,
"Apa
gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat
itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
"Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah
mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa
kau mempunyai jiwa yang begitu lemahnya keparat
?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berdua sampai selesai!"
Dan
begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan
berkata,
"Seorang
anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku,
sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa
sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia
menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:
"Kak,
masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu
uang."
Aku
memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata
bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku
20.
Dengan
uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari
mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke
tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada
seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa
ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku
dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku
menanyakannya,
"Mengapa
kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"Dia
menjawab,tersenyum,
"Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku
merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku
semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
"Aku
tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari
sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya
melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki
satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku
23.
Kali
pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan
kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis
kecil di depan ibuku
."Bu,
ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah
kita!"
Tetapi
katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka
ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku
masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum
terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut
lukanya
.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja
dan..."
Ditengah
kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia
26.
Ketika
aku menikah, aku tinggal di kota. Beberapa kali suamiku dan aku mengundang orang
tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak,
jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku
menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran
tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari,
adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat
sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa
kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu
yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan
kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?"
Mata
suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah:
"Tapi
kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa
membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26
dan aku 29.
Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu.
Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya,
"Siapa
yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."
Ia
melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat
kuingat.
"Ketika
saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku
dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika
kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama
saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku.
Kata-kata
begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam
hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini,
air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
(Diterjemahkan
dari "I Cried for My Brother Six Times")
gimana
gan???
usap dulu tuh air matanya,,,
udah banjir loh sampek
sini,,,
:D
udahan dulu ya,,,,
besok lagi,,,,
:D